Prolog:

Wacana rencana pembangunan wahana kereta gantung di kawasan Rinjani menuai pro kontra. Kontra yang disuarakan oleh berbagai pihak dengan alasan akan berdampak buruk pada lingkungan dan ekonomi masyarakat local.

Kami (Gema Alam) mencoba mengamati, membaca dan memahami pro kontra kereta gantung tersebut. Lalu melihat bahwa ada suara yang belum terdengar, tak terbaca dan teridentifikasi jika bicara tentang lingkungan dan pembangunan. Suara itu adalah suara perempuan-perempuan lingkar Rinjani. Oleh karena itu melalui tulisan ini, kami mencoba menyampaikan apa dan bagaimana respon para perempuan lingkar Rinjani terkait dengan rencana pembangunan kereta gantung. Melalui pertanyaan ‘apa pendapat mereka dengan rencana pembangunan kereta gantung dan apakah ada dampaknya terhadap lingkungan, ekonomi, social dan budaya’? Maka simaklah suara perempuan yang diserukan dari jauh.

Namun sebelum itu, kita harus memahami tentang kereta gantung itu sendiri. Kita harus melihat tujuan Pemerintah Provinsi memberikan lampu hijau pada investor dan mesti mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan oleh investor jika akan membangun kereta gantung tersebut.

Kereta gantung,  lampu hijau pemerintah & investor melaju

Kereta gantung adalah sebuah kereta yang menggantung yang berjalan menggunakan kabel. Jalur kereta gantung umumnya berupa garis lurus dan hanya dapat berbelok pada sudut yang kecil di stasiun antara. Awalnya kereta gantung digunakan pada tempat-tempat wisata misalnya di daerah bersalju, daerah pegunungan seperti pegunungan Alpen, atau taman hiburan, namun kini telah juga digunakan untuk transportasi umum di daerah perkotaan seperti misalnya di kota MedellinColombia. Kapasitas kereta gantung dapat mencapai 3.000 penumpang per jam, dengan kecepatan 4-6 meter per detik. Jenis kabin yang umum digunakan adalah gondola dengan kapasitas 4 hingga 12 penumpang. Ada pula jenis kabin yang kapasitasnya lebih besar hingga dapat menampung 150 penumpang. Kabin dengan tipe khusus dapat berputar 360 derajat untuk menikmati pemandangan ke segala arah (https://id.wikipedia.org/wiki/Kereta_gantung).

Pembangunan kereta gantung oleh PT. Indonesia Lombok Resort itu akan membentang sepanjang 10 kilometer dengan mengambil lokasi utama di Desa Karang Sidemen, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah. Di seluruh lintasan yang akan dilalui kereta gantung masuk dalam kawasan hutan lindung dan kawasan Taman Hutan Rakyat.

Gubernur NTB mengatakan,  “Jadi rupanya investasi ini pintar melihat pasar. Karena akan ada ratusan ribu orang datang melihat MotoGP di Lombok Tengah. Dan apa iya selamanya orang yang datang itu melihat MotoGP, tentu juga tidak, mereka yang datang itu perlu juga disuguhkan sesuatu yang lain, sehingga kehadiran kereta gantung ini menemukan pasarnya sendiri,”. Jika melihat pernyataan Gubernur, tentu saja tujuan pembangunan kereta gantung ini akan menguntungkan dari sector ekonomi, tapi ekonomi seperti apa, untuk siapa?

Jika investor sudah mendapat lampu hijau dan melaju, pertanyaan yang muncul dari masyarakat adalah apakah investor sudah memenuhi semua syarat-syarat pembangunan. Jika sudah terpenuhi maka seharusnya masyarakat mengetahuinya. Apakah investor sudah melakukan:

  1. Pengajuan kesesuaian ruang kepada TKPRD?
  2. Feasibility study untuk mengetahui layak secara ekonomi, lingkungan, social dan geologi?
  3. Memperhatikan asfek kebencanaan?
  4. Kajian untuk memperoleh izin lingkungan?
  5. Menyusun desain tekhnis/masterplan?
  6. Melakukan penataan batas areal dan pemetaan dan menyusun rencana pengelolaan wisata jangka Panjang? dan
  7. Apakah mereka sudah memiliki AMDAL?

Jika poin di atas telah dipenuhi, maka seyogyanya informasi terkait proses dan konten ditunjukkan untuk diuji oleh public terutama pihak terdampak langsung, terutama masyarakat lingkar Rinjani, perempuan dan laki-laki.

 

 

Pro, Kontra & Tindakan masyarakat

Pemerintah mengatakan bahwa pembangunan kereta gantung  akan memberikan manfaat untuk wisata NTB. Bukankah pelaku wisata adalah masyarakat, lalu mengapa masyarakat (baca: [elaku wisata Kawasan Rinjani) kontra dengan pembangunan ini? Pelaku wisata mana yang akan diuntungkan? Apa yang menyebabkan masyarakat kontra dengan rencana pembangunan kereta gantung tersebut? Seharusnya pemerintah peka terhadap semua suara yang muncul dari semua lapisan secara komprehensif. Masyarakat tegas menolak dengan melakukan diskusi-diskusi, menyebarluaskan penolakan melalui media social.

Namun sayangnya suara-suara yang muncul dominan dilakukan oleh laki-laki. Lalu dimana kaum perempuan? Bukankah mereka juga adalah masyarakat, bukankah di lingkar Rinjani ada perempuan? Lalu apakah kita pernah mencoba mendengar suara mereka lalu melontarkannya? Apakah dalam menyuarakan keresahan tersebut ada suara perempuan, jika perempuan menolak, apa yang menjalar di pikiran mereka hingga menolak?

Suara – suara perempuan yang tak terdengar.

“Saya sangat menolak pembangunan kereta gantung ini, karena akan berpengaruh pada perekonomian masyarakat Sembalun, terutama perempuan yang memiliki usaha kecil dan porter. Pariwisata menjadi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat Sembalun, namun paska gempa tahun 2018 porter menjadi tidak memiliki pekerjaan. Apalagi jika dibangun kereta gantung, tentu perekonomian mereka akan semakin menurun drastis. Terlebih kereta gantung ini akan dibuka melalui Lombok Tengah, maka akan menguntungkan orang-orang tertentu saja. Dulu sebelum marak dunia pariwisata, masyarakat Sembalun sebagian besar memilih menjadi TKW dan TKI, namun sekarang sudah mulai berkurang. Ketakutan kami, jika masyarakat kehilangan mata pencaharian mereka akan memilih menjadi TKW/TKI lagi. Lalu akan muncul janda-janda Malaysia.

Selain itu juga para wisatawan tidak akan menikmati proses untuk sampai ke Rinjani dan orang Sembalun akan seperti “orang bodoh” yang akan menjadi penonton. Dampak lainnya, progress perekonomian yang akan didominasi oleh investor (baca; pemodal) dapat melemahkan perekonomian masyarakat sekitar. Akan banyak tenaga kerja Kawasan Rinjani akan kehilangan pekerjaan, seperti trecking guide, porter, ojek gunung, perempuan pelaku usaha kecil, outdoor equipment rental, pengelola rumah adat, pengelola bukit untuk hiking, camping dan lain-lain. Perekonomian para pelaku wisata minat khusus di kawasan Rinjani tersebut, hingga saat ini tengah tertatih paska terjadinya bencana gempa berkepanjangan pada tahun 2018-2019. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang signifikan terhadap pendapatan masyarakat yang secara langsung bergerak dalam sektor pariwisata di Sembalun. Masyarakat telah kehilangan lebih dari 400 (empat ratus) milyar selama Sembilan bulan (Juli 2018-Agustus 2019). Upaya untuk membangkitkan kembali perekonomian masyarakat adalah dengan cara membuka pendakian Rinjani. Namun demikian, studi ini menemukan beberapa permasalahan yang menjadi tantangan dalam pembukaan pendakian Rinjani yaitu 1) belum ditemukannya jalur alternatif untuk melakukan pendakian; 2) belum ditemukannya sumber air bersih dari sumber mata air yang tertimbun; 3) Dukungan masyarakat untuk memperbaiki dan mengelola dengan baik atraksi wisata yang lain; 4) belum dilakukan re-branding dan promosi keberadaan atraksi wisata non-pendakian di sembalun; 5) terjadinya gempa susulan pada 17 Maret 2019 dan sesudahnya yang menyebabkan trauma pada wisatawan dan warga lokal, hal ini sekaligus dikuatkan masih adanya ketakutan terjadinya longsor (Gema Alam, UNDP, 2019). Kondisi ini telah berdampak langsung pada maraknya pernikahan usia anak, penjualan lahan pertanian dan perkebunan, hingga maraknya perempuan keluar negeri menjadi buruh migran (baca; TKW).

Tidak sedikit dari perempuan di lingkar Rinjani berpandangan bahwa mereka tidak memerlukan adanya kereta gantung. “Kami takut jika ada kereta gantung, kami tidak bisa mencari hasil hutan bukan kayu (HHBK) lagi. Padahal kami hanya mengandalkan hidup dari HHBK. Selain itu, pasti akan merusak lingkungan dengan bangunan fisik dari kereta gantung”, ujar para perempuan di desa Aik Berik Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah.

“Jika merusak alam dan hanya menguntungkan investor lebih baik kereta gantung tidak usah dibangun. Jika pemerintah ingin mensejahterakan masyarakat, seharusnya mereka mendengar dan mengakomodir aspirasi masyarakat, bukan memaksakan kehendak. Saya juga takut, jika alam dijamah oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab maka akan berpengaruh pada pergeseran pola pikir dan gaya hidup perempuan, karena perempuan hidup di daerah wisata konvensional”, ungkap perempuan lainnya di Lombok Tengah.

Hingga saat ini (Januari 2020), masyarakat di Lombok Utara masih melaksanakan ritual di Gunung Rinjani karena diangap masih memiliki nilai mistis.

“Pembangunan kereta gantung akan mengurangi mata pencaharian porter yang menjadi penyebab kemiskinan masyarakat local. Sebelum ada kereta gantung saja kami sudah miskin, tidak ada yang memperhatikan apalagi setelah gempa. Lalu sekarang mau ada kereta gantung, seperti apa nasib kami perempuan yang tinggal di lingkar Rinjani ini? Jika mau memikirkan pariwisata lebih baik bantu kami agar kami yang menjalankannya dengan tetap merawat lingkungan”, terang kelompok perempuan yang ada di wilayah kecamatan Sembalun.

“Saya masuk di kepengurusan geopark tapi tidak pernah dilibatkan dalam membahas pembangunan kereta gantung ini. Jika memang akan dibangun, saya tidak setuju karena akan mematikan UKM, porter, pemilik homestay, rumah makan, laundry, pusat oleh-oleh, dan kerajinan yang semua pelakunya kebanyakan perempuan”, pungkas salah seorang pengurus UNESCO Global Geopark (UGGp) Rinjani yang tak mau disebut namanya.

Berbagai pandangan perempuan di atas, bahkan banyak juga para perempuan di lingkar Rinjani yang tidak tahu dan tidak pernah mendengar adanya rencana pembangunan kereta gantung ini.dan setelah diberitahu tentang rencana tersebut, mereka menyatakan tidak setuju karena akan merusak lingkungan dan juga mematikan mata pencaharian para porter dan pelau wisata yang lain di Rinjani.

Pertanyaan lainnya yang muncul adalah: seberapa jauh pemerintah telah transparan terkait rencana pembangunan kereta gantung ini, manfaat besar apa yang akan diperoleh masyarakat, apa dampak yang timbul terutama bagi perempuan di sekitar Kawasan, permasalahan apa yang akan dijawab selain keuntungan bagi investor itu sendiri, bagaimana dengan optimalisasi pengelolaan potensi Kawasan dan mengapa tidak focus saja pada pengelolaan potensi Kawasan untuk kesejahteraan masyarakat terutama perempuan, bagaimana posisi masyarakat khususnya perempuan dengan adanya kereta gantung ini?

Lalu bagaimana dengan kondisi ekosistem Kawasan Rinjani di tengah kencangnya degradasi lingkungan yang menyebabkan maraknya bencana ekologis? Belum lagi persoalan pengelolaan sampah yang selalu menjadi momok Rinjani.

Seharusnya pemerintah dan investor terbuka dengan masyarakat khususnya perempuan agar pembangunan yang dilakukan memberi manfaat untuk masyarakat dan lingkungan tetap terjaga. (haiziah/gantb)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *