Ketika kopi menjadi sahabat sejati, pagi bukan lagi sebuah misteri. Sementara menunggu kopi tersaji, rasa terlintas ketika halusinasi tak pernah lepas. Anonim
Matahari baru menampakkan sedikit wajahnya pagi itu. Seperti biasanya, Aenuddin atau yang akrab sering dipanggil Amaq Arsad menyempatkan diri untuk menikmati secangkir kopi hitam di teras rumahnya sebelum berkativitas seharian di hutan. Ini kopi hasil kebun sendiri ujarnya sambil mencecap kopi yang masih hangat.
Aenuddin Bersama sebagian besar masyarakat di desanya memang bermata pencaharian sebagai petani. Kopi yang Ia minum adalah kopi yang yang Ia petik dan olah sendiri dari lahan hutan kemasyarakatan (HKm) yang Ia kelola.
Kopi Sapit tak hanya dikonsumsi oleh warga setempat, tapi sudah mulai popular di kalangan pecinta kopi. Bahkan saat ini, kopi Sapit ikut serta dalam “Espresso War” dan berhasil mendapatkan peringkat ke Tiga pilihan espressoholic. Event ini adalah ajang rutin “pertarungan” kopi – kopi yang masuk ke “Dapoer Kaoem di Koka[in] Coffee” Bogor.
Bersama 700-an kepala keluarga (KK) lainnya di Desa Sapit, Kecamatan Suela Kabupaten Lombok Timur, Aenuddin memulai pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM) melalui skema HKm sejak permohonan izin diajukan pada tahun 2008. Jauh sebelum terbentuknya kelompok tani HKm, orang tua kami sudah memanfaatkan hasil hutan.
HKm merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat desa Sapit. Para petani, termasuk Aenuddin yang tergabung dalam GAPOKTAN HKm Dongo Baru Sapit, mengelola hasil hutan bukan kayu (HHBK) di total luas lahan 450 ha. “Kami sangat menggantungkan hidup dari hutan. Namun selama ini masyarakat hanya menjual basah berbagai hasil tanaman hutan mereka, termasuk kopi ungkap Aenuddin.
Kopi merupakan salah satu komoditi di areal HKm yang banyak dihasilkan di Sapit, yakni sebanyak 10 ton per tahun. Potensi lainnya adalah berbagai buah – buahan, seperti pisang, nangka, alpokat, durian dan empon – empon. Sayangnya petani belum mampu mengolah potensi tersebut manjadi barang jadi yang siap untuk dipasarkan.
Begitu juga halnya dengan kopi. Meskipun menjadi salah satu komoditi utama, kopi belum diolah hingga menjadi kopi bubuk yang siap di pasarkan. Padahal, sejak dahulu masyarakat Sapit terbiasa mengolah kopi untuk dikonsumsi sendiri. Diakui Aenuddin, masyarakat, khususnya anggota HKm, belum memahami kualitas kopi yang baik yang memenuhi standar kualitas untuk dipasarkan.
Masyarakat sudah sejak lama dan turun temurun menanam kopi, tapi tidak mengetahui jenisnya, cara memperlakukannya hingga layak dikatakan berkualitas, apalagi cara mengemasnya. Mereka hanya mengenal kapan memetik buahnya dan menjualnya ke pengepul, karena masyarakat tidak memiliki akses terhadap pasar, ujar Aenuddin.
Kopi adalah bagian dari kehidupan masyarakat Sapit. Hamper di setiap rumah, kopi dapat dijumpai. Saking menyatunya dengan kehidupan sehari – hari, mereka tidak akan melalui satu hari pun tanpa kopi. Secara historis, masyarakat Sapit terbiasa mengkonsumsi kopi, baik yang dihasilkan dari areal kerja HKm ataupun kebunnya sendiri. Mereka menyangrai biji kopi dan menumbuknya sendiri dengan menggunakan tungku. Hingga saat ini, kegiatan sederhana tersebut masih dilakukan oleh sebagian warga desa Sapit.
Ini adalah tradisi lokal yang masih dipegang turun temurun. Memang desa Sapit merupakan salah satu desa di Kabupaten Lombok Timur yang masih kental akan adat istiadat dan budaya. Masyarakat masih menjalankan kegiatan adat dalam kehidupan sehari – hari. Di desa seluas 1.440, 7 ha ini, terdapat masjid tua yang bernilai sejarah, juga tenun dengan motif khas yang dihasilkan oleh para perempuan desa Sapit.
Meskipun jumlahnya tidak banyak, aktivitas menenun masih menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan potensi desa Sapit, sebagaimana halnya aktivitas pengolahan kopi. Kedua hal tersebut saat ini memjadi perhatian masyarakat desa Sapit yang ingin mewujudkan ekowisata dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui pengembangan “agroforestry”di Kawasan HKm.
Sejak pertengahan tahun 2016 lalu, desa Sapit Bersama Lima desa lainnya di Kawasan Sub DAS Pohgading Sunggen dan Pancor Barong yaitu desa Suela, Mekarsari, Beririjarak, Pringgasela Selatan dan Jurit Baru, menginisiasi pengelolaan sumber daya alam (PSDA) melalui kegiatan ekowisata berbasis masyarakat yang didampingi oleh Gema Alam NTB dan Rimbawan Muda Indonesia melalui dukungan MCA-Indonesia.
Saat ini, kelompok HKm sebagai penerima manfaat sudah melakukan berbagai upaya salah satunya adalah penataan kawasan HKm, yang ditandai dengan pembuatan areal camping ground dan rumah pohon di areal kawasan blok Dupe, kami telah menyiapkan lokasi perkemahan dan pembuatan spot – spot yang akan mendukung pengembangan ekowisata dan agroforestry” ungkap Aenuddin. Ia menjelaskan bahwa pengolahan kopi diharapkan dapat dikembangkan menjadi salah satu spot yang mendukung kegiatan ekowisata yang saat ini sedang dalam tahap persiapan.
Sayangnya, ketidaktahuan masyarakat dalam menentukan kualitas kopi dan meningkatkan nilai jual komoditas tersebut. Selama ini, masyarakat hanya menjual basah pada pengepul dan ijon, yang sering kali tidak menguntungkan petani. Tidak hanya terkendala persoalan teknis pemeliharaan dan pengolahan buah kopi, masyarakat juga tidak memilki akses untuk memasarkan produk olahan kopi. Padahal tergolong produk yang banyak diminati oleh masyarakat, baik nasional maupun internasional.
Peningkatan kapasitas masyarakat di Enam desa ini merupakan hal utama yang dilakukan dalam rangka persiapan pengelolaan ekowisata. Diawali dengan pelatihan untuk membangun pemahaman ekowisata itu sendiri, penguatan kelembagaan, hingga berbagai pelatihan teknis dalam pengelolaan ekowisata. Aenuddin dan beberapa anggota kelompok HKm dan kelompok perempuan Sapit, pernah mengikuti pelatihan Pangan Lokal dengan tema “Pengolahan Kopi” pada tahun 2017 yang lalu. Selain mengolah, mereka juga dibekali pengetahuan mengenai Teknik pengemasan dan pemasaran.
Selain itu, sebagian dari kelompok HKm dan kelompok perempuan pernah mengikuti kegiatan studi banding ke desa Rempek di Kabupaten Lombok Utara yang difasilitasi oleh Gema Alam NTB. Dimana petani setempat sudah mulai mengmbangkan teknologi kopi sambung samping dan pucuk. Ketua Gema Alam NTB , Haiziah Gazali menjelaskan peningkatan kapasitas kelompok masyarakat adalah sebuah kebutuhan, terutama bagi mereka yang ingin mengembangkan dan memajukan organisasinya, tak terkecuali kelompok tani HKm, baik laki – laki maupun perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam berbagai pelatihan termasuk dalam pelatihan “Pengolahan Kopi” yang diselenggarakan oleh Konsorsium Gema Alam NTB dan Rimbawan Muda Indonesia tentu saja merupakan bagian dari upaya menciptakan ruang bagi perempuan untuk terlibat dalam roda perekonomian desa. Kelak para perempuan Sapit diharapkan mampu meningkatkan kemandirian ekonomi keluarga dan turut serta dalam mengembangkan kopi Sapit Bersama komunitasnya. Bersambung!!!