Selong – Layanan kesehatan korban gempa dirasa masih jauh dari kata cukup. Hal itu disebabkan oleh rusaknya fasilitas umum kesehatan berupa puskesmas dan juga terbatasnya tenaga medis. “Ditambah lagi trauma penyintas yang membuat mereka takut meninggalkan tenda untuk pergi ke fasilitas kesehatan,” kata Ketua Gema Alam NTB Haiziah Gazali.
Dari itu, berdasarkan rekomendasi kajian kebutuhan pascabencana (Jitupasna) dan kajian kesehatan reproduksi dan gender pascabencana, Gema Alam NTB bersama sahabat Gema Alam berupaya mengatasi keterbatasan tersebut. Kata Haiziah, hal tersebut dilakukan dengan upaya menemu kenali dan sekaligus membuat aksi atas isu tingginya kematian ibu hamil/melahirkan dan kematian bayi baru lahir di Kabupaten Lombok Timur.
” Pemeriksaan kesehatan dan layanan konsultasi psikolog tersebut kami lakukan melalui pos keliling dari desa ke desa, dari dusun ke dusun dan dari gang ke gang serta dari rumah ke rumah,” terang Haiziah.
Hal itu dilakukan dengan memobilisasi 15 tim medis, yang terdiri dari 9 dokter umum, 3 dokter spesialis anak, dan seorang dokter spesialis kandungan dan obstetric, serta 2 Psikolog.
Selama ini, pihaknya telah melakukan layanan kesehatan gratis kepada 2.504 penyintas yang terdiri dari 1.302 pasien umum, 406 pasien kandungan, 781 pasien bayi/anak, dan layanan konsultasi psikhologi kepada 25 orang penyintas di 11 desa di 4 Kecamatan di Kabupaten Lombok Timur. “Kegiatan kami lakukan sejak awal bulan September,” ujarnya.
Menurut Haiziah, yang terlihat kurang mendapat perhatian di bidang kesehatan adalah pengetahutan terhadap bahaya. Dari pemeriksaan, ditemukan adanya 3 balita gizi buruk, 3 anak gizi kurang, 2 dengan microcephaly, dan 4 mengalami down syndrome. Ia menegaskan, semuanya nyaris kurang atau tidak mendapatkan layanan kesehatan secara memadai.
Selain itu, penyakit diare, ISPA, batuk pilek, kulit, mata dan kerusakan gigi merupakan trend umum dari penyakit di kalangan bayi dan balita. Kata Haiziah, terkait kesehatan Ibu Hamil, di antara 384 ibu hamil yang diperiksa dengan USG, terdapat 90 Ibu hamil dengan risiko tinggi, setengah dari mereka adalah ibu dari pernikahan anak usia 15 sampai dengan 18 tahun.
Ia menerangkan, di lapangan tim melihat penanganan kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan Ibu dan Anak masih jauh dari optimal dan tidak berpihak pada perempuan. “Apalagi kasus kematian ibu melahirkan dan bayi di Lotim tinggi,” ungkapnya.
Dari data tersebut, bekerja dengan ‘business as usual’ pada kesehatan reproduksi pasca bencana seharusnya tidak dapat dibenarkan. Menurut Haiziah, ancaman meningkatnya kematian ibu dan bayi akan melonjak tinggi bila tidak dilakukan penanganan serius. “Persoalan keberlangsungan hidup ibu hamil dan anak adalah persoalan hak asasi manusia yang sering diabaikan,” tegasnya.
Karena itu, untu melengkapi intervensi kesehatan yang inklusif dan berkeadilan gender, Gema Alam NTB dan Sahabat Gema Alam juga memfasilitasi pembangunan 41 huntara bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan keluarga termiskin dengan bayi dan balita, lansia, serta disabilitas.
Kegiatan tersebut masih terus akan berjalan. Kata Haiziah, aksi Gema Alam dengan sahabat Gema Alam akan dilanjutkan 12 sampai 13 November mendatang (mulai hari ini, red).
“Kami berharap, dengan pendekatan holistik dalam menangani persoalan kesehatan reproduksi, khususnya Ibu dan Anak dengan membangun huntara akan secara signifikan mengurangi risiko peningkatan kasus kematian ibu dan anak serta persoalan kesehatan lansia di Lotim,” jelasnya. (tih/r2)