Hari ini rakyat dipaksa bayar pajak dari segala sisi. Mau punya motor? Kena pajak kendaraan tiap tahun. Mau jualan? Kena pajak penghasilan. Mau makan? Kena pajak juga. Bahkan, seolah-olah setiap hembusan napas pun kalau bisa akan dipajaki sama pemerintah kita. Pemerintah sibuk merampok rakyat dengan dalih “penerimaan negara,” sementara mereka menutup mata terhadap penderitaan yang semakin nyata di lapangan. Ironisnya, di tengah jeritan rakyat, seorang menteri dengan enteng berkata: “kalau gak mau bayar pajak jangan tinggal di Indonesia.”

Namun, ketika rakyat dipaksa bayar pajak hingga urat leher menjerit, DPR justru sibuk merencanakan kenaikan gaji dan tunjangan yang mencuat ke publik mulai dari layanan rumah senilai Rp 50 juta per bulan, tambahan tunjangan beras, transportasi, listrik, hingga mobil dinas dan PPh ditanggung negara (Independent Media, Wikipedia). Semua fasilitas itu membuat pendapatan anggota DPR riil bisa menyentuh Rp 100–230 juta per bulan, atau sekitar 21–27 kali lebih tinggi dibanding Upah Minimum Rata-Rata (UMR) nasional yang berada di kisaran Rp 3,7–5,4 juta, dan ditengah itu semua anggota dewan berjoget gembira di parlemen.

Kontras inilah yang menyulut amarah rakyat. Pajak terus dinaikkan, gaji DPR semakin fantastis, sementara masyarakat hanya merasakan beban. Publik gemas, dan protes meletus di berbagai kota: Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, NTB, Makasar, serta daerah lainnya. Aksi ini dipicu oleh kemarahan atas tunjangan DPR yang dinilai tidak peka terhadap kesulitan ekonomi rakyat (AP News, Wikipedia). Demo pun berubah kacau: bangunan parlemen & kendaraan dibakar, bentrokan dengan aparat berlangsung intens, hingga menimbulkan korban jiwa 10 orang meninggal termasuk Affan Kurniawan driver ojek online yang di lindas oleh aparat, dan ratusan lainnya luka-luka.

Lalu muncul pertanyaan besar: kalau rakyat sudah dipajaki mati-matian, ke mana hasil dari kekayaan sumber daya alam kita? Indonesia kaya raya: emas, nikel, batu bara, minyak, gas, hutan, laut. Tapi apa yang didapat rakyat? Bukan kesejahteraan, melainkan kerusakan lingkungan, tanah adat yang dirampas, masyarakat adat yang terusir, laut tercemar, petani gagal panen, hingga nelayan kehilangan tangkapan. Kaya di atas kertas, miskin di kehidupan nyata.

Jawabannya jelas: karena uangnya dikorupsi habis-habisan!

Korupsi sudah jadi darah dan daging negeri ini. Lihat saja:

  1. Korupsi Tata Niaga Timah – PT Timah Tbk (±Rp 300 Triliun)

Manipulasi izin dan perdagangan timah ilegal (2015–2022) membuat negara rugi sekitar Rp 300 triliun, di mana Rp 271 triliun adalah kerugian ekologis. Hutan mangrove ditebang, laut tercemar, dan lubang tambang dibiarkan terbuka. Nelayan kehilangan penghasilan, anak-anak di Bangka Belitung tenggelam di bekas galian.

  1. Skandal Pertamina Patra Niaga (Rp 193,7 Triliun)

Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, diduga manipulasi pengadaan minyak (2018–2023). Kerugian negara Rp 193,7 triliun.

  1. Korupsi BLBI – Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (±Rp 138 Triliun)

Dana talangan bank era krisis 1997–1998 diselewengkan. Kerugian negara Rp 138 triliun. (Finansialku, Wikipedia)

  1. Penyerobotan Lahan Sawit – Grup Duta Palma (±Rp 104 Triliun)

Korupsi perizinan sawit mempercepat deforestasi di Riau, kerugian Rp 104,1 triliun. Hutan hilang, sungai tercemar, masyarakat adat terusir.

  1. Skandal Kondensat TPPI (±Rp 35 Triliun)

Hasil penjualan minyak tak disetor sesuai SOP (2009–2011). Kerugian Rp 35 triliun.

  1. Kasus Asabri (±Rp 22,78 Triliun)

Dana pensiun prajurit TNI dan ASN dikorupsi lewat saham gorengan. Kerugian Rp 22,78 triliun. (beritasatu.com, Media Indonesia)

  1. Kasus e-KTP (±Rp 2,3 Triliun)

Proyek nasional jadi ajang bancakan anggaran. Kerugian Rp 2,3 triliun.

Semua ini menunjukkan satu hal: rakyat diperas dengan pajak, sementara kekayaan alam dikuras dan dikorupsi, hanya untuk memenuhi kerakusan elit. Mereka menyebut dirinya “wakil rakyat,” padahal sejatinya adalah pengkhianat rakyat. Mereka hidup makmur dari keringat dan darah kita.

Jadi, sampai kapan kita diam? Kalau kita terus diam, mereka akan semakin berani merampok terang-terangan. Kalau kita hanya pasrah, mereka akan terus tertawa di atas penderitaan kita.

Saatnya rakyat bersuara!

Rakyat sudah muak! Pajak mencekik, korupsi merajalela, sementara para tikus berdasi berpesta pora. Sekarang pertanyaannya: apakah kita mau terus jadi korban, atau kita akan melawan?

You cannot copy content of this page