Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) merupakan salah satu hari peringatan lingkungan hidup yang ada di Indonesia. HKAN ditetapkan pada tanggal 10 Agustus tahun 2009 oleh presiden SBY. Peringatan HKAN merupakan momentum untuk melakukan refleksi terhadap tata kelola sumber daya alam, bukan hanya sebatas ritual seremonial belaka. Namun hal yang lebih mendasar adalah bagaimana kita melakukan pembenahan pada tata kelola SDA. Refleksi harus dilakukan oleh semua komponen, baik pemangku kebijakan ataupun kelompok/komunitas masyarakat. Parameternya adalah UU beserta turunannya dan awig-awig bagi komunitas.
Sepanjang perjalanan dalam pembuatan kebijakan pengelolaan SDA banyak perbaikan-perbaikan yang terjadi. Di antara kebijakan yang saya pandang bagus adalah perhutanan sosial seperti hutan kemasyarakatan (HKm), kemitraan kehutanan (KK), hutan desa, hutan tanaman rakyat (HTR) serta hutan adat. Skema di atas adalah pilihan-pilihan yang dapat diakses oleh masyarakat utamanya yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Perhutanan sosial merupakan perubahan paradigma pengelolaan hutan yang mana sebelumnya masyarakat hanya sebagai objek semata. Skema perhutanan sosial menempatkan masyarakat sebagai pelaku pengelolaan hutan. Dengan begitu diharapkan masyarakat mendapatkan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Izin perhutanan sosial di Kabupaten Lombok Timur sejak tahun 2010 hingga sekarang sudah lebih dari 2000 ha dengan pilihan skema HKm dan Kemitraan Kehutanan. Namun apakah sudah dikelola sesuai peraturan perundang-undangan? Pemanfaatan perhutanan sosial di hutan lindung meliputi pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan. Sementara di hutan produksi meliputi HHBK, jasa lingkungan dan hasil hutan kayu (HHK). Jenis tanaman HHBK meliputi semua jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomi. Kecuali tanaman semusim seperti padi, jagung, sayur-sayuran serta pisang, tetapi pada kenyataannya tanaman inilah yang mendominasi. Sementara pohon tegakan semakin jarang karena ditebang agar tanaman semusim dapat tumbuh dengan baik.
Dari sisi penguasaan banyak di antara penggarap adalah mereka yang tingkat kesejahteraannya lebih cukup dan sangat disayangkan karena di antara merak banyak dari luar kawasan. Mereka ini rata-rata lebih berhasil karena didukung oleh modal yang cukup. Sementara penggarap yang miskin memiliki penghasilan rendah karena mereka lebih cenderung mengembangkan jenis tanaman semusim.
Di hutan produksi banyak dikembangkan jenis kayu sengon dan di selanya dimanfaatkan untuk menanam Jagung. Saat ini pohon Sengon sudah memasuki usia panen namun masih terkendala proses perizinan. Sementara jasa lingkungan salah satu bentuk pemanfaatannya adalah pariwisata alam. Nah, ini yang sedang booming sekarang. Karena tren wisata alam bebas sedang menjadi pilihan primadona bagi wisatawan domestik.
Mencermati praktek pengelolaan perhutanan sosial sebagaimana dijelaskan di atas ternyata masih jauh dari tujuan. Pemanfaatan lahan masih belum sesuai dengan pedoman, masyarakat masih banyak yang memanfaatkannya dengan mengikuti seleranya. Sementara hasil yang bagus lebih banyak dinikmati oleh penggarap yang kaya karena didukung oleh modal yang cukup. Namun patut disayangkan pohon tegakan lebih banyak yang gagal dipelihara. Sehingga kualitas hutan cenderung menurun.
Tulisan ini tidak dalam rangka menyalahkan siapapun. Namun kita perlu mencermati pihak-pihak yang berperan dalam pelaksanaan perhutanan sosial. Syarat-syarat pemberian izin meliputi adanya kelompok yang memiliki sumber daya manusia yang berkapasitas dan dilengkapi dokumen-dokumen yang disyaratkan oleh undang-undang.dalam hal ini yang berperan aktif tentu saja kelompok. Sementara pemerintah dalam hal ini kementerian lingkungan hidup dan kehutanan melalui jajarannya di tingkat daerah berkewajiban melakukan fasilitasi dan pendampingan sampai kelompok memiliki kemandirian dalam mengelola hutan.
Apakah antara kelompok masyarakat dengan pengampu hutan sudah sejalan dalam menerapkan peraturan perhutanan sosial? Kenyataannya masyarakat ingin mendapatkan hasil melimpah tetapi dengan mengindahkan aturan. Sementara para pengampu hutan belum menjalankan peran fasilitasi dan pendampingan dengan optimal. Cara-cara yang terapkan masih menggunakan cara lama dan normatif. Belum ada metode yang efektif dan praktis sehingga perkembangan pengelolaan hutan masih jalan di tempat.(mansyur/gantb)