
Indonesia kini dirundung kondisi iklim yang tidak baik-baik saja. Nyatanya, diperkirakan laju deforestasi pada tahun 2025 dapat mencapai sekitar 600 ribu hektar. Penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan hutan, termasuk hutan lindung dan konservasi, untuk kepentingan ekonomi jangka pendek yang membuka celah hukum bagi perusahaan besar. Puluhan pulau kecil di Indonesia juga tak luput dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan, yang mempersempit ruang hidup masyarakat pesisir dan mengancam keberlangsungan ekosistem laut. Ditambah lagi, adanya kekhawatiran masyarakat akibat kebijakan yang memberi kemudahan proyek strategis nasional untuk pengembangan lahan yang berdampak pada kerusakan ekosistem dan konflik sosial warga lokal, salah satunya DAM Meninting di Desa Dasan Geria dan KEK Mandalika Kuta, Lombok Tengah.
Akibatnya? Indonesia mengalami peningkatan intensitas bencana seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang dipicu oleh perubahan iklim dan degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia (WALHI, 2025). Data ini menunjukkan bahwa situasi kerusakan lingkungan di Indonesia pada 2025 sangat serius dan menuntut peningkatan upaya konservasi alam secara sistematis dan berkelanjutan.
Gerakan konservasi alam, termasuk pengembangan energi terbarukan, penting dalam menjawab krisis lingkungan saat ini di Indonesia. Penggunaan energi fosil seperti batu bara yang dominan merupakan penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim. Energi terbarukan (surya, angin, panas bumi, bioenergi) tidak menghasilkan emisi karbon saat digunakan, sehingga mampu menurunkan jejak karbon secara signifikan dan memperlambat laju pemanasan global. Dengan mengembangkan energi baru terbarukan (EBT), Indonesia dapat menurunkan ketergantungan pada energi fosil impor maupun domestik, yang rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan global. Ini juga meningkatkan ketahanan dan keamanan energi nasional.
Indonesia memiliki potensi besar energi terbarukan, seperti potensi surya sebesar ribuan gigawatt, serta angin, panas bumi, dan bioenergi yang tersebar di seluruh wilayah. Ini membuka peluang untuk pengembangan energi yang mandiri dan merata, khususnya bagi daerah terpencil. Energi terbarukan mendukung pengurangan degradasi lingkungan akibat ekstraksi bahan bakar fosil dan perlindungan ekosistem. Ini menjadi bagian integral dari strategi pembangunan hijau yang bertujuan mengurangi polusi, menjaga sumber daya alam, dan mendukung konservasi keanekaragaman hayati.
Singkatnya, gerakan konservasi alam yang mengedepankan pengembangan energi terbarukan merupakan respons strategis dan mendesak terhadap krisis kerusakan lingkungan dengan dampak langsung pada mitigasi perubahan iklim, konservasi sumber daya, penguatan ketahanan energi, dan pembangunan ekonomi hijau berkelanjutan.

Tapi siapa yang akan mengawal transisi energi jika masyarakat tak dilibatkan sejak awal? Siapa yang memastikan bahwa pembangunan energi bersih tidak lagi menjadikan rakyat hanya sebagai penonton semata? Di sinilah gerakan Gema Alam NTB bersama Sekolah Rakyat (Sekra) hadir sebagai kekuatan akar rumput yang memupuk kesadaran.
Melalui Sekra, Gema Alam NTB memfasilitasi proses belajar dengan membongkar relasi kuasa dalam pembangunan energi, bahwa energi adalah hak kita semua, bukan komoditas yang dibisniskan. Maka, masyarakat di 6 desa yaitu Desa Tetebatu Selatan, Desa Rarang, Desa Pandan Indah, Desa Lantan, Desa Taman Ayu, dan Desa Dasan Geria terutama perempuan, disabilitas, dan kelompok rentan tidak diajarkan untuk sekadar menerima teknologi secara mentah, tapi memahami bagaimana energi itu bekerja, siapa yang mengendalikannya, dan bagaimana mereka bisa mandiri mengelola sumber energi secara adil dan berkelanjutan.
Di Lombok Timur dan Lombok Barat, misalnya, perempuan Sekra kini mampu membangun instalasi biogas dari kotoran ternak untuk kebutuhan rumah tangga. Di desa Pandan Indah Kabupaten Lombok Tengah, Solar Water Pump tak hanya dipasang, tapi juga dirawat secara kolektif oleh perempuan Sekra dengan evaluasi berkala. Jadi, ini bukan sekadar proyek, tapi salah satu gerakan yang membangun infrastruktur energi alternatif, dari akar rumput berdasarkan pengetahuan lokal dan kebutuhan komunitas.
Gerakan ini berdiri di atas prinsip keadilan ekologis dan kedaulatan rakyat atas sumber daya alam. Semuanya beririsan dalam prinsip pembangunan, bahwa tak boleh ada satu pun masyarakat desa yang luput dari akses energi, sementara perusahaan-perusahaan raksasa mengeruk energi bumi tanpa kendali. Bahwa pembangunan energi tidak boleh merampas lahan, hutan, dan laut atas nama kemajuan, melainkan harus menghidupkan ruang hidup, bukan memusnahkannya.
Kita tidak kekurangan teknologi. Kita kekurangan keberpihakan. Mari buka mata, transisi energi bukan hanya soal mengganti sumber daya, tapi mengganti siapa yang berkuasa atasnya. Gerakan Sekolah Rakyat menjadi awal perubahan yang sedang terjadi di tanah yang selama ini abai dari diskusi di atas meja-meja kokoh. Kini lahir menjadi arah baru pembangunan energi yang lebih adil, lestari, dan tak lagi meminggirkan rakyat.
Jangan tunggu sampai semua hutan habis dan laut jadi kolam limbah. Jangan biarkan proyek-proyek raksasa terus membungkam suara rakyat. Kita punya pilihan. Jika perubahan tidak datang dari atas, biarkan ia tumbuh dari tanah tempat kita berpijak. Karena di sinilah hidup pengetahuan yang paling jujur dan perlawanan yang paling tulus.
