GA WeforJet – Gema Alam Kembali menggelar Sekolah SETARA setelah rehat sejenak. Sekolah SETARA kini akan mengulas tentang energi terbarukan dalam konteks perempuan dan disabilitas. Pada sekolah setara sebelumnya banyak mengulas tentang, gender, disabilitas, inklusi social, citra diri dan kepemimpinan perempuan.

Berbeda dari sekolah setara sebelumnya, kali ini menghadirkan lebih banyak peserta di desa diantaranya ; pemerintah desa, Perempuan, Perempuan disabilitas, community organizer baik laki – laki mapun perempuan yang terlibat dari awal dalam proses kajian partisipatif (PRA), rapid care analysis (RCA) maupun pendataan disabilitas.

Ada yang berbeda, Sekolah SETARA kali ini selain difasilitasi oleh Gema Alam, juga difasilitasi oleh ibu Yuni Riawati dari Solidaritas Perempuan (SP) NTB yang sudah berkecimpung juga dalam isu transisi energi. Mengawali Sekolah SETARA siklus 5 dan 6 ini, desa Tete Batu Selatan sebagai pembukanya yang dilakukan pada hari Senin, 13 Mei 2024, dan berikutnya tanggal 14 sampai dengan  tanggal 18 Mei 2024 sekolah setara ini akan dilakukan di desa Rarang Lombok Timur, desa Pandan Indan dan Lantan Lombok Tengah, desa Dasan Geria dan desa Taman Ayu sebagai penutup dari sekolah setara siklus 5 dan 6 ini.

Mengapa Perempuan dan Disabilitas? Selama ini yang paling banyak bergelut dengan energi adalah rumah tangga (perempuan), tapi mereka belum menyadarinya. Dalam diskusi Sekolah SETARA fasilitator memberikan pertanyaan terkait dengan energi terbarukan, menanyakan ke para pelajar/peserta apakah mereka tahu tentang energi terbarukan?  Mereka menjawab tidak tahu dan tidak pernah mendengar, tetapi saat ditanya apakah ada yang menggunakan biogas di desa? Mereka menjawab, ada, tetangga saya juga pakai. Isu energi terbarukan memang belum familiar bagi perempuan dan disabilitas terutama yang ada di akar rumput, seperti katanya ketua Gema Alam NTB Zicko panggilan akrabnya.

Dalam beberapa kajian, konsumsi energi terbesar ada pada sektor transportasi dan rumah tangga. Berbicara soal rumah tangga, tentu berbicara soal perempuan, karena pemahaman selama ini perempuan selalu disematkan dengan pekerjaan domestic/rumah tangga. Berbicara soal transisi energi mulai dari kayu bakar, minyak bumi sampai penggunaan LPG, bahwa ada fakta sampai hari ini ada perempuan yang tidak berani menggunkan gas LPG. Tentunya ini menjadi perhatian para pihak, dalam proses transisi energi hendaknya harus memperhatikan aspek keadilan bagi perempuan, disabilitas maupun kaum marjinal lainnya. Jangan sampai mereka menjadi objek, jadikanlah mereka sebagai subyek atau pelaku.

Dalam isu transisi energi yang secara global sudah digaungkan oleh negara – negara di dunia dan asia termasuk Indonesia, melalui berbagai pertemuan internasional menghadirkan kesepakatan dan komitmen pendanaan transisi energi di Indonesia, diantaranya Energy Transition Mechanism dari Just Energy Transistion Partnership (JETP) sebesar 20 miliar USD. Secara nasional Indonesia menargetkan pencapaian Net-Zero Emission pada 2060, bahkan di NTB sendiri sepuluh tahun lebih maju dari target nasional yaitu pada tahun 2050.

Di NTB, capaian bauran energi hingga Juni 2022 sekitar 19% dan pada tahun 2023 naik menjadi 22,43% sedangkan target nasional dalam dalam capaian bauran energi pada tahun 2025 adalah 23% (sumber:Dinas ESDM Provinsi NTB).

Upaya transisi energi hijau dimulai pada pertengahan 2019 dengan ditetapkannya Perda Nomor 3 Tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED-P). Pengembangan energi baru terbarukan merupakan insiatif ramah lingkungan. Tapi harus memperhatikan aspek pemenuhan hak asasi manusia serta perencanaan dan implementasi yang adil bagi perempuan, disabilitas dan kaum marjinal lainnya. (gantb)