Dalam perannya merawat keluarga (reproduksi) perempuan juga menanggung banyak beban dalam hidupnya. Mulai dari lahir hingga ia mati mungkin waktu untuk beristirahat yang dia gunakan tidak sampai seperempat dari usianya. Banyak kejadian telah membuktikan bahwa perempuan adalah kelompok paling rentan terhadap perubahan – perubahan yang terjadi. Perubahan kearah kemajuan perempuan dipinggirkan, sementara jika terjadi konflik perempuan semakin terpuruk.
Di beberapa tempat perempuan pun terbukti sebagai seorang “manajer” rumah tangga yang mengatur mulai dari ketersediaan pangan hingga pendidikan anak. Beberapa pristiwa juga membuktikan seperti gerakan perempuan Chipko di India yang melakukan aksi memeluk hutan saat hendak ditebang, ini menunjukkan bahwa perempuan adalah seorang pemelihara lingkungan hidup yang tahu mengatur sumber daya alam agar seluruh keluarga dan keturunan dapat makan dan bertahan hidup.
Sayangnya, dengan kerja yang luar biasa banyak sekaligus mengagumkan ini, perempuan tetap tidak memiliki peluang dalam mengambil keputusan. Konflik sumber daya alam yang marak terjadi di negeri ini, memperlihatkan bahwa perempuan sangat jarang bahkan tidak pernah dilibatkan dalam perundingan – perundingan di tingkat masyarakat maupun dengan pemerintah atau perusahaan yang menguasai lahan. Padahal dilihat dari cara mengelola sumber daya alam seperti bercocok tanam, mengatur ketersediaan dan kebutuhan air bagi keluarga misalnya perempuan mengeluarkan waktu dan tenaga lebih banyak dibandingkan dengan laki – laki. Sebagai seorang manajer di rumah tangga yang mengatur ketersediaan pangan di rumah perempuan jauh lebih tahu apa – apa saja yang dibutuhkan dalam rumah tangga. Perempuan amat mengerti apa – apa saja yang dulu ada dan sekarang tidak ada akibat berkurangnya wilayah kelola sumber daya alam atau kerusakan lingkungan.
Apa yang harus dilihat dalam analisis gender? Salah satunya adalah siapa yang menjadi aktor perubahan. Aktor disini berarti adalah penentu sekaligus pemain yang berperan dalam perubahan. Terlibat dalam pengambilan – pengambilan keputusan dan aktif mengambil bagian dalam setiap tahapan perubahan. Perubahan dalam hal ini bisa bermacam – macam, mulai dari masuknya program – program pengentasan kemiskinan hingga perubahan yang berujung pada konflik seperti masuknya investasi dalam suatu wilayah. Bentuk – bentuk intervensi ini dari luar ini seringkali mengakibatkan perubahan – perubahan drastis dalam ekosistem satu wilayah termasuk di dalamnnya sistem sosial masyarakat.
Struktur masyarakat tradisional umumnya membagi peran – peran laki – laki dan perempuan dalam kotak – kotak tertentu, termasuk di dalamnya pada ruang pengambilan keputusan atau politik. Pada zaman tertentu pembagian peran berbasis gender ini mungkin adil, tetapi ketika terjadi perubahan drastis ternyata perempuan tidak menjadi pemeran utama dalam perubahan. Perempuan lebih banyak menjadi pelengkap yang terseret – seret dalam arus perubahan. Banyak contoh kasus yang terjadi di wilayah kelola sumber – sumber kehidupan diantaranya di Arso, Timika, Kalimantan dan banyak juga terjadi di belahan dunia lain. Ini memperlihatkan bahwa ketika perempuan tidak memiliki kontrol (kendali) atas pengambilan keputusan menyangkut masa depan wilayah kelola (tanah), maka perempuan terseret dan tenggelam dalam berbagai persoalan, turunnya status kesehatan, anjloknya perekonomian keluarga, tertutupnya akses terhadap informasi, kekerasan, beban kerja berlebihan adalah persoalan yang secara khusus menimpa perempuan di wilayah konflik manapun.
Hal ini diperkuat lagi oleh hasil kajian yang dilakukan oleh Gema Alam NTB pada tahun 2013 dengan menggunakan metodologi Participatory Action Research (PAR) di Lima desa kawasan Sub DAS Pohgading Sunggen dan Pancor Barong yaitu Desa Sapit dan Suela Kecamatan Suela, Desa Bebidas dan Beririjarak Kecamatan Wanasaba dan Desa Jurit Baru Kecamatan Pringgasela Kabupaten Lombok Timur NTB. Dalam pengelolaan sumber daya alam ditemukan bahwa memang kontrol (kendali) perempuan terhadap sumber daya alam (hutan, air, pertanian dan perkebunan) tidak ada, hanya didominasi oleh kaum elit-elit yang ada di desa yang terdiri dari laki – laki semua. Jikalaupun ada hanya pada ranah domestik saja. Dalam konteks kekinian peran perempuan dalam PSDA semakin tidak jelas bahkan tidak ada sama sekali hanya sebagai pemanfaat semata.
Presiden Soekarno pernah mengatakan “laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi – tingginya, jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali”. Ini artinya apa? bahwa sejatinya laki – laki dan perempuan harus saling bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan, tidak dapat berdiri sendiri diantara keduanya. Hal ini senada juga dengan pendapat Ivan Illich (1998: 130) bahwa di bawah pengayoman gender, laki-laki dan perempuan saling ketergantungan (interdependensi) secara kolektif, ketergantungan timbal balik mereka menetapkan batas-batas pergulatan, eksploitasi, kekalahan. Namun demikian, “kompromi” yang baik dan adil antara laki-laki dan perempuan akan dapat tercapai jika relasi kuasa diantara keduanya berjalan seimbang. Relasi kuasa dimaksud, dalam kasus ini, berkenaan dengan penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan dan status kepemilikan (tenurial) tanah, hutan, air, dan sumber daya lainnya. Jika tidak, maka interdependensi kolektif kedua belah pihak akan berdampak sebaliknya, tetap menghasilkan ketimpangan.
Dari ungkapan di atas jelaslah bahwa memang diantara keduanya ini tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya perempuan dengan perannya sebagai seorang manajer meski tidak memiliki kuasa atas tanah justru memegang kendali atas rantai pangan dan atau siklus produksi pangan. Keahlian mengatur dan menentukan bibit dan wilayah pertanian, mengatur jumlah panen, mengatur bagian – bagian untuk disimpan dan dijual adalah satu peran penting tersendiri. Demikian juga dalam rumah tangga, jika semua anak dapat makan dengan kenyang maka sang manajer (perempuan) akan tersenyum lebar dan bahagia. Jadi, semakin memperkuat bahwa, perempuan tidak bisa dipisahkan dari konteks pengelolaan sumber daya alam dan sumber – sumber kehidupan lainnya.
Menjadi penting bagi kita semua yang peduli dengan pemberdayaan masyarakat, bagaimana menempatkan perempuan sebagai aktor yang berperan dalam perubahan. Perempuan tidak hanya menjadi pelaksana perubahan atau bahkan pelengkap penderita dari perubahan, tetapi juga menjadi subjek atau penentu perubahan. Penentu yang menangkap kecenderungan masa datang, menyerap kekinian, merefleksi sejarah dan membangun skenario masa depan masyarakatnya.(ary/gantb)