“Awalnya perempuan tidak mau terlibat dalam mengembangkan ekowisata, mereka menganggap hal tersebut sebagai tugas laki – laki. Saat ini pengembangan Kopi dan Ekowisata menjadi program desa Beririjarak, karena disuarakan oleh perempuan.”
Sapuan angin lembut mengusap tubuh, kehangatan pun perlahan mulai hilang berganti dingin. Baju yang menempel di tubuh ternyata tidak mampu membendung dinginnya hawa malam. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam, sebagian yang tengah berkumpul di basecamp GAPURA desa Beririjarak terlihat mulai mengenakan jaket dan berkali – kali menuangkan kopi untuk menghangatkan badan, namun sang dingin bergeming. Meskipun waktu sudah mulai larut malam, orang – orang yang mengikuti rapat di basecamp GAPURA tidak terpengaruh, suasana justru semakin hangat dipenuhi perdebatan. Di tengah suasana diskusi yang semakin hangat, terlihat seorang dari mereka berkali – kali menengok ke atas, menatap jam yang tertempel di dinding.
Di posisi terdepan, di samping ketua GAPURA nampak seorang perempuan yang sejak tadi mulai gelisah, pandangannya berkali – kali mengarah ke luar melalui jendela memperhatikan kondisi di luar yang semakin sepi, nampaknya dia sudah tidak konsentrasi. Situasi ini terjadi bukan karena kebosanannya dengan suasana rapat, dia sebenarnya masih sangat bersemangat, karena banyak gagasan – gagasannya yang menjadi acuan dalam mengambil kebijakan. Namun konsentrasinya mulai terganggu karena suasana malam sudah mulai larut. Dia takut pulang terlalu malam, karena akan mendapatkan cibiran dari masyarakat.
Dia adalah Nani Mulyana pengerak perempuan di desa Beririjarak. Teman – teman perempuannya lebih dulu meninggalkan rapat, karena tidak berani pulang terlalu malam. Meski tinggal sendirian perempuan, dia tetap bertahan mengikuti rapat Bersama temannya yang laki – laki. Meski demikian, keterlibatan perempuan dalam rapat – rapat GAPURA sudah sangat menyenangkan, walaupun tidak sampai akhir.
Dulu, para perempuan tidak pernah terlibat dalam program – program desa. Mereka hanya di rumah. Bahkan keluar malam mereka kerap mendapat cibiran. Perempuan yang keluar malam dianggap sebagai “nina njloet” (perempuan liar). “Perempuan kalau keluar malam sampai jam 21.00 (jam Sembilan malam), jika sampai di atas itu disebut nina njloet. Kata Nani.
Kondisi ini perlahan berubah setelah adanya karya nyata perempuan seperti kopi kemasan dan tas yang dibuat dari kantong plastik bekas. Maklum, masyarakat tidak cukup hanya diberikan pemahaman, tetapi lebih efektif jika diperlihatkan bukti. Oleh karena itu, selain berupaya memberikan pemahaman, mereka juga menunjukkan kualitas diri mereka.
Perubahan sikap positif masyarakat kepada perempuan yang terlibat berorganisasi tidaklah terjadi begitu saja, tetapi telah melalui berbagai lika – liku yang menyita waktu, tenaga, fikiran bahkan finansial yang tidak sedikit. Pada tahun 2013, Gema Alam NTB melakukan riset menggunakan metodologi Participation Action Research (PAR). Hasilnya cukup memprihatinkan, perempuan belum diperankan dalam proses pembangunan di desa. Peran mereka sebagai penyedia konsumsi dan itu dipandang sebagai bentuk pelibatan perempuan. Dalam pandangan masyarakat umumnya, terutama pemerintah desa, memfungsikan perempuan untuk menyediakan konsumsi pada kegiatan gotong royong dan rapat – rapat di desa merupakan bentuk pelibatan dan pemberdayaan perempuan. Dengan demikian sangat terbatas ruang perempuan untuk terlibat lebih luas lagi, misalnya dalam perencanaan.
Melihat kondisi tersebut, kami kemudian mulai memetakan perempuan potensial sebagai titik mulai pengorganisasian. Muncullah nama Nani Mulyana. Kami memilih Nani karena bakat dan keaktifannya, meski hanya di lingkungan rumahnya saja. Dia diberikan pengetahuan dan keterampilan pengorganisasian, kemudian diberikan penugasan untuk mengorganisir perempuan lainnya. Sampai tahun 2015, 50 orang perempuan di desa Beririjarak berhasil direkrut. Namun, orangnya selalu berganti, tidak ada yang mampu bertahan menghadapi dinamika masyarakat. Hingga akhirnya, hanya Nani yang bertahan, itupun dia sempat berputus asa.
Pada tahun 2016, didukung oleh Millennium Challenge Account – Indonesia (MCA-I) kami mulai mengkonsolidasikan perempuan – perempuan yang sebelumnya pernah dibina dengan isu yang berbeda, yaitu ekowisata, pengembangan kopi dan keterampilan membuat tas. Ternyata dengan isu tersebut sebagai basis materialnya, animo mereka cukup tinggi. Hal ini kemudian menjadi bahan pembelajaran kami, bahwa memberdayakan perempuan tidak cukup hanya dengan membangun pengetahuan, tetapi harus mengajak mereka melakukan kegiatan yang nyata dan menjanjikan bagi masa depan mereka.
Menginisiasi Desa Ekowisata
Pada awal mulai mengajak perempuan terlibat dalam upaya menginisiasi ekowisata di desa Beririjarak, keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan di desa belum ada, kalaupun ada yang terlibat pada kegiatan di desa, tetapi hanya diperankan sebagai penyedia konsumsi. Meskipun ada PKK sebagai wadah yang dikhususkan kepada perempuan, namun kegiatan mereka cenderung domestik, yaitu arisan dan belajar membuat kue.
Oleh karena itu, ketika mereka diajak untuk merencanakan konsep pengembangan desa Beririjarak sebagai desa ekowisata, bukannya dianggap sebagai kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya, malahan mereka merasa hal tersebut bukan tugas mereka, tetapi tugas laki – laki. Apalagi saat itu, masyarakat sangat alergi mendengar istilah pariwisata, karena dipandang sebagai perusak tatanan nilai religi yang sangat kuat dimasyarakat. “Alurka dengan mama nggawek ia, endah jek pariwisata gin nyedang agamanta,” ungkap Nuraeni. Artinya, biarlah laki – laki yang mengerjakannya, lagipula pariwisata itu akan merusak agama kita.
Meyikapi situasi tersebut, kami merubah metode pengorganisasian, yaitu mengajak mereka melakukan apa yang menarik bagi mereka. Dalam sebuah diskusi, muncullah kebutuhan mereka untuk belajar menjahit. Melalui kegiatan menjahit, mereka diajak berinovasi untuk membuat tas menggunakan kantong plastik bekas. Lalu, mereka diarahkan juga untuk melirik pengolahan kopi, karena desa Beririjarak merupakan penghasil kopi jenis robusta. Selain itu, pendekatan kepada orang tua dan suami juga memiliki peranan penting dalam mendukung keterlibatan mereka. Terbangunnya pemahaman orang tua dan suami terkait pentingnya perempuan terlibat dalam proses pembangunan desa menjadi energi yang luar biasa.
Atas dukungan orang tua, suami dan kesempatan yang diberikan oleh kelompok laki – laki, perempuan tidak lagi ragu untuk terlibat aktif berorganisasi, mereka mulai percaya diri untuk terlibat bersama laki – laki dalam berbagai kegiatan, seperti identifikasi potensi desa, membuat peta desa, menyusun konsep ekowisata, bergotong royong membuat spot ekowisata dan mengikuti pelatihan di luar. Berbagai karya nyata mereka seperti spot – spot ekowisata, kopi kemasan dan tas telah mengharumkan nama desa Beririjarak di mata orang luar. Masyarakat mulai bangga kepada mereka, terlebih pemerintah desa. mereka dipandang mampu melakukan hal yang tidak pernah terfikirkan oleh masyarakat pada umumnya, bahkan pemerintah desa. Mereka yang tidak pernah diperhitungkan, sekarang menjadi kebanggaan pemerintah desa. “Mereka perempuan yang luar biasa, mereka melakukan hal yang belum difikirkan masyarakat dan juga kami” kata Lalu Paozi kepala desa Beririjarak.
Nani Mulyana yang konsisten mengikuti proses, memiliki kapasitas jauh meninggalkan teman perempuan lainnya yang berproses secara tambal sulam. Saat ini, dia tidak hanya sebagai penggerak di tingkat komunitas, di desa juga tidak pernah absen untuk dilibatkan, bahkan dia dipercaya sebagai sekretaris Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan di luar desa dia dipercaya sebagai ketua Koalisi Nine Desa Kawasan Sub DAS Pohgading Sunggen dan Pancor Barong, sebuah wadah advokasi perempuan yang saat ini beranggotakan enam desa.
Seiring waktu berjalan, perempuan lainnya mulai bermunculan, sebagai hasil dari mereka ikut berproses di GAPURA, sebut saja Nuraeni, Baiq Mariani, Risnawati, Haeniah, Hazlin Hasanah dan banyak lagi lainnya. Pemerintah desa Beririjarak mulai aktif melibatkan mereka dalam kegiatan di desa. Gagasan mereka tentang pengembangan kopi dan ekowisata sekarang menjadi program desa yang awalnya diabaikan. Kini, mereka menjadi buah bibir masyarakat. Mereka adalah kebanggaan. Makin banyak perempuan yang ingin bergabung. Namun, mereka memiliki harapan agar pemerintah dan pihak lainnya membantu mengembangkan dan memasarkan produk mereka.
Selain kopi yang menjadi produk unggulan mereka, kini muncul juga produk lokal lainnya yang sudah mulai banyak ditinggalkan oleh masyarakat yaitu pade rau (beras merah). GAPURA mulai lagi untuk membangkitkan tradisi lokal yang sudah sangat lama ditinggalkan oleh masyarakat tersebut. Bahkan mereka membuat tradisi ini menjadi event tahunan desa Beririjarak dengan brand mataq pade rau. Event ini sudah dilaksanakan selama dua tahun berturut – turut mulai dari tahun 2018 dan tahun 2019. Berkat dukungan dan kerjasama semua pihak di desa, terutama dukungan para tokoh masyarakat di desa dan terlebih lagi dukungan dari pemeritah desa, maka event mataq pade rau ditetapkan sebagai icon desa yang digelar setiap tahun sebagai bagian dari ekowisata desa Beririjarak. (mansyur&ary/gantb)