Tenun Pringgasela merupakan warisan budaya. Sebagian besar masyarakat meyakini kain tenun memiliki kekuatan magis yang bisa digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit yang biasa disebut reragian. Namun saat ini, menenun hanya dilakukan oleh penenun yang berusia sekitar 28-70 tahun. Sedangkan generasi muda tidak ada yang bisa menenun bahkan enggan untuk belajar menenun. Hal tersebut disebabkan karena kecintaan generasi muda terhadap warisan budaya sudah mulai luntur. Bahkan sejarah tenun semakin samar diketahui oleh generasi muda, dan tidak jarang ketika ditanya mereka tidak tahu sejarah tenun Desa Pringgasela.
Harga tenun yang sangat rendah belum mampu menjawab persoalan ekonomi penenun. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga penenun menjual tenun kepada Tekong dengan harga sangat murah, lalu dijual kembali dengan harga yang mahal. Penghasilan dari menenun tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, oleh karena itu banyak penenun meminjam uang pada rentenir. Uang pinjaman dari rentenir juga digunakan sebagai modal untuk membeli benang untuk membuat tenun. Bahkan ada beberapa penenun meninggalkan profesi sebagai penenun untuk menjadi buruh atau TKW karena akan mendatangkan uang dengan cepat.
Keprihatinan 5 orang penenun muda melihat kondisi miris penenun inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kelompok Nine Penenun (KNP) yang menginisiasi Bale Tenun yang beralamat di RT 01, RW Setia Kawan, Dusun Gubuk Lauq, Desa Pringgasela Selatan. Bale Tenun dibentuk sebagai wadah bagi penenun di Desa Pringgasela Selatan untuk mendapatkan pendidikan, menjadi pusat pemasaran, penyediaan bahan baku dan sekolah tenun. Sekolah tenun sebagai upaya pengurus dan anggota Kelompok Nine Penenun untuk melestarikan dan memperkenalkan tenun Pringgasela pada orang-orang di luar Desa Pringgasela. Sekaligus sebagai bentuk penghormatan terhadap potensi perempuan Desa Pringgasela Selatan.