Kondorsium ADARA NTB menggelar Dialog Reguler “Tentang Gender Based Violence (GBV) dan Dampaknya” Bersama Tokoh Agama, Paralegal, Anak Muda, dan Pemerintah Desa. Dialog ini berlangsung di Sekar Asri Sekarteja, kamis 18 Februari 2021.

Dialog reguler yang berlangsung setengah hari bertujuan Meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya usaha untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak dan pemetaan dampak kasus GBV terhadap perempuan dan anak.

Gender-Based Violence (GBV) merupakan konsep payung dari berbagai tindakan yang membahayakan fisik, seksual dan psikologi (The International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies – IFRC, 2016), yang dilakukan dengan paksaan berdasarkan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan (Inter-Agency Standing Committee – UNFPA, 2005). Dampak dari kekerasan berbasis gender ini lebih banyak berdampak pada perempuan dan anak.

Dialog kali ini dibuka langsung oleh Surya Jaya selaku Spesialis MEAL di Konsorsium ADARA menyatakan bahwa diskusi ini mengarah ke strategi dalam melakukan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, bagaimana melakukan penanganan ketika ada kasus, dan pemulihan terhadap korban.

Dialog dipandu langsung oleh fasilitator Ida Made Kerta. Dia merupakan orang yang berkompeten dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dalam dialog kali ini fasiltator membagi pengalaman dalam menangani kasus-kasus kekerasan dan pendampingan terhadap korban kekerasan.

Muzanni selaku tokoh agama menyatakan bahwa langkah yang harus dilakukan dalam pencegahan kekersan terhadap perempuan da

n anak adalah dengan melakukan tiga tahap. Pertama melakukan pendampingan terhadap korban, kedua pendanaan, dan ketiga membuat wadah atau badan hukum. Oleh karena itu desa harus menyusun perdes tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak.

Lebih lanjut H. Nurudin menyatakan posko atau wadah memang sangat penting untuk dibangun akan tetapi yang lebih penting adalah kepedulian diri terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat husunya kekersan terhadap perempuan dan anak.

Di masing-masing desa (Desa Jurit Baru, Desa Beririjarak, dan Desa Pringgasela Selatan) sudah dibentuk paralegal untuk menangani kasus kekerasan husunya kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Di masyarakat pengetahuan tentang paralegal saat ini masih belum diketahui secara luas. Untuk itu perlu adanya sosialisasi di masyarakat tentang keberadaan paralegal. Meski saat ini paralegal sudah memiliki identitas legal.

Seperti yang dikatakan wafirullah salah satu anggota paralegal Desa Beririjarak, paralegal masih kesulitan dalam penanganan kasus karena paralegal masih baru dan keberadaan paralegal belum sepenuhnya diakui.

Harapan dalam dialog kali ini adalah ada pertemuan lanjutan bersama pemerintah kabupaten dan sosialisasi paralegal di masing-masing desa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *