Kekerasan terhadap perempuan dan anak di masyarakat menjadi isu yang belum bisa terselesaikan dengan baik, karena penanganan yang dilakukan masih bersifat kewilayahan. Oleh karena itu penting dilakukan duduk bersama setiap wilayah untuk menyatukan pemahan dalam melakukan penanganan kasus.

Selain itu, penting untuk menyusun sebuah SOP sebagai acuan dalam melakukan penanganan kasus. SOP merupakan suatu aturan yang berkaitan dengan prosedur yang dilakukan secara tertata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan memperoleh hasil kerja yang efektif. Dalam sebuah organisasi SOP sangatlah penting, SOP dijadikan pedoman untuk mengantisipasi berbagai situasi yang mungkin terjadi di organisasi. Tujuan akan berkembang jika semua orang yang berada pada organisasi tersebut dapat mematuhi SOP yang telah ditetapkan.

Begitupun dengan penanganan kasus, butuh adanya SOP sehingga penangan yang dilakukan bisa terarah dan masing-masing wilayah bisa mengacu kepada SOP tersebut. Namun, dibeberapa wilayah dampingan Konsorsium ADARA belum memiliki prosedur dalam penanganan kasus.

Selama dua hari, Rabu-Kamis tanggal 6 s/d 7 Oktober 2021. Konsorsium ADARA mengadakan diskusi dengan tema “Penyusunan Standard Operating Procedure (SOP) penanganan Kasus Gender Based Violence (GBV)”. Kegiatan ini dilakukan bersama pemerintah desa dan paralegal desa yang berlokasi di Lesehan Rirana Sawing Lombok Timur.

Kegiatan ini dihadiri 15 orang dari perwakilan tiga desa dampingan Konsorsium ADARA di Lombok Timur (Desa Jurit Baru, Desa Pringgasela Selatan, dan Desa Beririjarak).
Hari pertama, masing-masing desa diminta untuk menyampaikan perjalanan perdes PPA yang sudah disusun secara bersama. Masing-masing wilayah, perdes PPA sudah dibuat bahkan ada yang sampai pada tahap sosialisasi. Meski belum maksimal, namun pada persoalan pencegahan pernikahan usia anak, pemdes sudah mulai menerapkan perdes PPA yang dibuat.

Keberadaan paralegalpun tidak terlepas dari perdes tersebut. Paralegal sebagai orang yang mendampingi masyarakat harus memiliki kepercayaan dalam mendampingi korban. Secara umum keberadaan paralegal di masing-masing desa secara kelembagaan sudah diakui oleh desa, hanya saja belum ada Surat Keputusan (SK) dari desa setempat sebagai pengakuan terhadap keberadaan paralegal.

Hari kedua, presentasi SOP yang disusun mulai dari prinsip-prinsip penanganan dan prosedur penanganan baik penanganan langsung maupun tidak langsung. SOP ini kemudian akan diajukan ke desa untuk ditandatangani.

Harapannya SOP yang dibuat ini bisa menjadi contoh bagi desa lain agar penanganan kasus yang terjadi bisa dilakukan secara bersama dan terarah sesuai dengan SOP yang dibuat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *