“Festival Matak Pade Rau” merupakan even tahunan yang diggas oleh Gerakan Pemuda Untuk Perubahan (GAPURA) bersama Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Gawar Gong dan didukung oleh Pemerintah Desa Beririjarak . Kegiatan ini bukan hanya seremonial budaya, tetapi lebih dari itu kegiatan ini bertujuan untuk melestarikan dan mempertahankan budaya  “Besiru”  yang menjadi prilaku hidup masyarakat desa Beririjarak.

“Matak” padanan kata dari “Panen,” sedangkan Pade Rau adalah istilah Padi yang di tanan di ladang (rau). Matak Pade Rau dalam istilah klisenya yang terkenal adalah Panen Raya.  Meskipun dari subtansinya sama-sama bermakna panen, namun alat dan cara panennya berbeda dengan panen Padi Gabah. Istilah Matak hanya digunakan pada panen Padi Gogo.” Besiru” atau kalau dalam dialek masyarakat Desa Beririjarak adalah Sesiru merupakan prilaku masyarakat yang selalu bergotongroyong ketika melakkan penanaman padi dan matak.

Berawal dari diskusi kecil yang dilakukan oleh sekelompok pemuda yang tergabung dalam komunitas GAPURA dan POKDARWIS Gawar Gong. Sudah menjadi tradisi, ketika komunitas ini kumpul mengisi diskusinya dengan berbagai hal terutama terkait pengelolaan potensi SDA yang ada di Desa Beririjarak, dan pada suatu ketika tanpa sadar mereka larut dalam diskusi terkait Padi Rau. Diskusi terkait isu ini ternyata membuat mereka menjadi gelisah, betapa tidak dalam analisa mereka, Padi Rau sebagai symbol ketahanan pangan kini sudah jarang yang menanamnya, petani cenderung menanam padi Gabah, wajarlah kemudian tadisi gotongroyong dalam bertani mulai terkikis. Selain itu, produksi beras merah juga semakin langka. Varietas Padi Gogo yang menghasilkan beras merah mulai susah dicari. Padahal produksi beras merah yang dihasilkan petani di Desa Beririjarak pada puluhan tahun yang lalu, cukup berlimpah, setiap kali musim matak, Desa Beririjarak menjadi tujuan orang-orang luar desa mencari beras merah. Sehingga desa ini juga terkenal sebagai penghasil beras merah.

Bulan November sampai dengan Desember  setiap tahunnya dalam kalender  kerja harian masyarakat di Desa Beririjarak merupakan bulan yang penuh kesibukan di ladang. Hari-harinya berjibaku dengan alat kerja, seperti cangkul, kiskis dan  parang. Suara Pak-pak (semacam alat membuat lubang benih) bersahutan dari tempat yang berbeda, sekali-kali suara tawa keceriaan meramaikan kawasan perladangan yang banyak juga ditumbuhi berbagai jenis tanaman perkebunan dan kayu. Masyarakat “Besesiru” (bergotongroyong) menabur benih padi pada lubang-luabng yang sudah disediakan. Pada saat istirahat, para ibu-ibu menyiapkan makanan (Memanoang).  Lauknya sederhana, hanya terasi dan garam yang dibeli, selebihnya sudah tersedia di lahan mereka.  Mereka makan bersama dengan satu nare atau bahasa lokalnya “Ayan-ayan.” Selanjutnya, memasuki bulan Januari – Februari keriuh – riangan kembali mewarnai suasana di ladang. Suara yang terdengar bukan lagi suara Pak-pak, tetapi suara yang mirip seruling, namun bukan seruling. Suara itu adalah “Serune” yang dibuat dari batang padi. Seruni dimainkan oleh anak-anak sembari bapak dan ibunya melakukan pemetikan (Matak) padi.

Ilustrasi di atas adalah gambaran suasana keceriaan masyarakat ketika memasuki musim tanam dan penen Padi Gogo. Akan tetapi suasana itu terjadi pada puluhan tahun yang lalu, yaitu tahun 1980-an yang merupakan tahun kelahiran generasi milenial. Pada saat ini, memasuki bulan November-februari nyaris tidak terdengar lagi suara pak-pak dan seruni, suara tawa-cengkrama petani terkalahkan dengan kicauan burung. Namun bukan karena burungnya semakin banyak, tetapi memang sumber suara keramaian itu yang berkurang. Suara pak-pak dan serune menjadi suara yang langka, besiru saat menanam benih dan matak sudah mulai jarang. Perubahan kondisi ini tidak hanya disebabkan karena tradisi gotongroyong yang luntur, tetapi juga karena perubahan jenis padi yang ditanam.

Seiring dengan semakin canggihnya teknologi pertanian, Padi Gogo mengalami mutasi menjadi beragam varietas, padi yang banyak dibudidayakan petani saat ini adalah Padi Gabah yang usia panennya lebih singkat dibandingkan dengan Padi Gogo. Sebagian besar petani sudah beralih menanam Padi Gabah di ladang, sementara Padi Gogo hanya menjadi tanaman pelengkap. Padahal, Padi Gabah tidak lebih menguntungkan dibandingkan Padi Gogo meskipun usian panennya lebih singkat. Karena Padi Gabah membutuhkan air yang banyak, sehingga kurang produktif dikembangkan di ladang.

Ilustrasi di atas adalah kondisi nyata saat ini yang kemudian  melatari munculnya gagasan untuk menyelenggarakan even panen massal yang dikemas dalam bentuk “Festival Matak Pade Rau.”

Festival Matak Pade Rau sudah dimulai pada tahun 2018 yang lalu. Alhamdulillah medapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat, pemerintah desa juga sangat mengapresiasi, sebagai bentuk dukungannya, pemerintah desa sudah menganggarkannya dalam RPJMDES dan RKPDES serta tidak ketinggalan pula  Dianas Pariwisata Kab.Lombok Timur memberikan apresiasi luar biasa dengan menjadikan even ini sebagai  salah satu kegiatan tahunan dalam kalender kerja Dinas Pariwisata. Pada festival yang pertama, banyak para orang tua mengaku terharu, bahkan ada yang menitikkan air mata ketika menonton atraksi matak. Betapa tidak, tradisi-tradisi yang sudah mereka lupakan, teringat kembali, mereka mengaku merasa dibawa pada kehidupan masa lalu mereka.

Pada tahun ini, pemerintah desa Beririjarak akan menyelenngarakan kembali Festival Matak Pade Rau 2 yang dipusatkan di Gawar Gong. Mansyur!!!

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *